LALALA
Mata Kuliah Geologi
Sabtu, 31 Maret 2018
Reaktivitas Sesar Kaligarang, Semarang
JURNAL GEOLOGI INDONESIA
S. Poedjoprajitno, J. Wahyudiono, dan A. Cita
Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro 57, Bandung
S. Poedjoprajitno, J. Wahyudiono, dan A. Cita
Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro 57, Bandung
Senin, 19 Maret 2018
REVIEW JURNAL SUTIKNO BRONTO TENTANG FASIES GUNUNG API DAN APLIKASINYA
REVIEW
JURNAL
SUTIKNO
BRONTO
FASIES
GUNUNG API DAN APLIKASINYA
OLEH :
I
KADEK AGUNG TIRTAYASA
471
417 023
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
SARI
Berdasarkan
bentuk bentang alam dan asosiasi batuan penyusun, suatu kerucut gunung api
komposit dapat dibagi menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial,
dan fasies distal. Secara bentang alam, pembagian tersebut dimulai dari pusat
erupsi di bagian puncak, menurun ke arah lereng, kaki, serta dataran di
sekelilingnya. Fasies sentral gunung api dicirikan oleh asosiasi batuan beku
intrusi dangkal, kubah lava, dan batuan ubahan hidrotermal. Fasies proksimal
tersusun oleh perselingan aliran lava dan breksi piroklastika. Fasies medial
terutama berupa breksi piroklastika, breksi lahar, dan konglomerat, sedangkan
fasies distal lebih banyak disusun oleh batuan epiklastika berukuran butir
pasir-lempung. Tuf dapat tersebar mulai dari fasies proksimal sampai distal
karena berbutir halus dan ringan. Pembagian fasies gunung api di dalam batuan
berumur Tersier atau lebih tua dilakukan dengan pendekatan inderaja -
geomorfologi, stratigrafi batuan gunung api, vulkanologi fi sik, struktur geologi,
serta petrologi - geokimia. Pembagian fasies gunung api ini dapat dimanfaatkan
dalam rangka pencarian sumber baru di bidang mineral dan energi, penataan
lingkungan, serta mitigasi bencana geologi.
PENDAHULUAN
Di
Indonesia, gunung api dan hasil kegiatannya yang berupa batuan gunung api
tersebar melimpah baik di darat maupun di laut. Berdasarkan umur geologi,
kegiatan gunung api di Indonesia paling tidak sudah dimulai sejak Zaman Kapur
Atas (Martodjojo, 2003) atau sekitar 76 juta tahun yang lalu (Ngkoimani, 2005)
hingga masa kini. Namun demikian, sejauh ini para ahli kebumian masih sangat
sedikit yang tertarik untuk mempelajari ilmu gunung api atau vulkanologi. Hal
itu tentunya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan dasar geologi yang
diperolehnya serta atmosfer penelitian yang masih kurang mendukung (Bronto,
2003a; Bronto drr., 2004a). Sebagai akibat lebih lanjut, meskipun wilayah
Indonesia mempunyai banyak gunung api dan batuannya tersebar luas, sementara
tidak banyak ahli geologi yang mendalaminya, maka dapat dikatakan bahwa kita
tidak menjadi pakar di daerahnya sendiri. Padahal diyakini, apabila lingkungan
geologi (gunung api) dapat benar-benar difahami, maka hal itu akan menjadi
modal dasar untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada ataupun
penanggulangan terhadap bencana yang mungkin ditimbulkannya. Makalah ini
ditujukan untuk menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap geologi gunung
api, khususnya fasies gunung api dan berbagai aplikasinya, baik untuk
kepentingan praktis di bidang sumber daya dan mitigasi bencana, maupun dalam
pengembangan konsep-konsep geologi di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar penelitian
geologi gunung api semakin berkembang pada masa mendatang.
TERMINOLOGI
Schieferdecker
(1959) mendefi nisikan gunung api (volcano) adalah “a place at the surface of
the earth where magmatic material from the depth erupts or has erupted in the
past, usually forming a mountain, more or less conical in shape with a crater
in the top” (sebuah tempat di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi
keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk suatu gunung,
kurang lebih berbentuk kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya).
Sementara itu Macdonald (1972) menyatakan bahwa “volcano is both the place or
opening from which molten rock or gas, and generally both, issues from the
earth’s interior onto the surface, and the hill or mountain built up around the
opening by accumulation of the rock material” (gunung api adalah tempat atau
bukaan dimana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam
bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian
membentuk bukit atau gunung). Dari dua defi nisi tersebut maka untuk dikatakan
sebagai gunung api harus ada magma yang berupa batuan pijar dan atau gas yang
keluar ke permukaan bumi melalui bukaan (kawah). Hasil kegiatan berupa bahan
padat yang teronggokkan di sekeliling lubang biasanya membentuk bukit atau
gunung dan disebut sebagai batuan gunung api.
PEMBAGIAN
FASIES GUNUNG API
Secara
bentang alam, gunung api yang berbentuk kerucut dapat dibagi menjadi daerah
puncak, lereng, kaki, dan dataran di sekelilingnya. Pemahaman ini kemudian
dikembangkan oleh Williams dan McBirney (1979) untuk membagi sebuah kerucut
gunung api komposit menjadi 3 zone, yakni Central Zone, Proximal Zone, dan
Distal Zone. Central Zone disetarakan dengan daerah puncak kerucut gunung api,
Proximal Zone sebanding dengan daerah lereng gunung api, dan Distal Zone sama
dengan daerah kaki serta dataran di sekeliling gunung api. Namun dalam uraiannya,
kedua penulis tersebut sering menyebut zone dengan facies, sehingga menjadi
Central Facies, Proximal Facies, dan Distal Facies.
Pembagian
fasies gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981) serta
Bogie dan Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok, yaitu Central/Vent Facies,
Proximal Facies, Medial Facies, dan Distal Facies . Sesuai dengan batasan
fasies gunung api, yakni sejumlah ciri litologi (fi sika dan kimia) batuan
gunung api pada suatu lokasi tertentu, maka masing-masing fasies gunung api
tersebut dapat diidentifi kasi berdasarkan data:
1. inderaja dan
geomorfologi,
2. stratigrafi batuan
gunung api,
3. vulkanologi fi sik,
4. struktur geologi,
serta
5. petrologi-geokimia.
IDENTIFIKASI
BERDASARKAN INDERAJA DAN GEOMORFOLOGI
Pada umur Kuarter hingga masa kini, bentang
alam gunung api komposit sangat mudah diidentifi - kasi karena bentuknya berupa
kerucut, di puncaknya terdapat kawah dan secara jelas dapat dipisahkan dengan
bagian lereng, kaki, dan dataran di sekitarnya. Dari puncak ke arah kaki, sudut
lereng semakin melandai untuk kemudian menjadi dataran di sekitar kerucut
gunung api tersebut. Untuk pulau gunung api, bagian puncak dan lereng menyembul
di atas muka air laut sedangkan kaki dan dataran berada di bawah muka laut.
Namun berdasarkan penelitian topografi bawah laut, tidak hanya kaki dan dataran
di sekeliling pulau gunung api, tetapi juga kerucut gunung api bawah laut dapat
diidentifi kasi. Aliran sungai pada kerucut gunung api di darat dan pulau
gunung api mempunyai pola memancar dari daerah puncak ke kaki dan dataran di
sekitarnya.
IDENTIFIKASI BERDASARKAN
STRATIGRAFI BATUAN GUNUNG API
Fasies sentral merupakan bukaan keluarnya
magma dari dalam bumi ke permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh
asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan
semi gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api
(volcanic necks), sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes). Batuan
terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah atau kaldera
gunung api masa kini, atau pada gunung api purba yang sudah tererosi lanjut.
Selain itu, karena daerah bukaan mulai dari conduit atau diatrema sampai dengan
kawah merupakan lokasi terbentuknya fl uida hidrotermal, maka hal itu
mengakibatkan terbentuknya batuan ubahan atau bahkan mineralisasi. Apabila
erosi di fasies sentral ini sangat lanjut, batuan tua yang mendasari batuan
gunung api juga dapat tersingkap.
Fasies
proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling dekat dengan lokasi sumber
atau fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunung api komposit sangat
didominasi oleh perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan
aglomerat. Kelompok batuan ini sangat resistan, sehingga biasanya membentuk
timbulan tertinggi pada gunung api purba. Pada fasies medial, karena sudah
lebih menjauhi lokasi sumber, aliran lava dan aglomerat sudah berkurang, tetapi
breksi piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar juga sudah mulai
berkembang. Sebagai daerah pengendapan terjauh dari sumber, fasies distal
didominasi oleh endapan rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar, breksi
fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan primer gunung api di
fasies ini umumnya berupa tuf. Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya
ada kekecualian apabila terjadi letusan besar sehingga menghasilkan endapan
aliran piroklastika atau endapan longsoran gunung api yang melampar jauh dari
sumbernya. Pada pulau gunung api ataupun gunung api bawah laut, di dalam fasies
distal ini batuan gunung api dapat berselang-seling dengan batuan nongunung
api, seperti halnya batuan karbonat. Dari pengamatan di lapangan daerah
Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Wonogiri, fasies medial dan fasies distal
gunung api purba (Tersier) sudah tertutup oleh batuan karbonat.
IDENTIFIKASI
BERDASARKAN VULKANOLOGI FISIK
Secara sedimentologi atau vulkanologi fi sik,
mulai dari fasies proksimal sampai fasies distal dapat dirunut perubahan secara
bertahap mengenai tekstur dan struktur sedimen. Tekstur batuan klastika gunung
api menyangkut bentuk butir, ukuran butir, dan kemas. Karena efek abrasi selama
proses transportasi maka dari fasies proksimal ke fasies distal bentuk butir
berubah mulai dari sangat meruncing -meruncing sampai membundar - sangat
membundar. Ukuran butir juga berubah dari fraksi sangat kasar - kasar, sedang
sampai dengan halus - sangat halus. Hubungan antara butir fraksi kasar di
daerah fasies proksimal pada umumnya membentuk kemas tertutup, tetapi kemudian
berubah menjadi kemas terbuka di fasies medial sampai distal. Struktur sedimen,
seperti struktur imbrikasi, silangsiur, antidunes, dan gores-garis sebagai
akibat terlanda seruakan piroklastika (pyroclastic surges) juga dapat membantu
menentukan arah sumber dan sedimentasi.
Secara geometri, struktur aliran piroklastika,
aliran lahar serta aliran lava dapat juga mendukung penentuan arah sumber
erupsi. Dari pengukuran aliran lava berstruktur bantal (Gambar 9) di Watuadeg,
diketahui sumber erupsinya terletak lk. 200 m di sebelah barat Kali Opak
(Bronto & Mulyaningsih, 2001). Endapan aliran gravitasi tersebut biasanya
mengalir mengikuti lembah sungai lama, mulai dari daerah puncak sampai lereng
bawah, sementara itu dari kaki hingga dataran endapan tersebut dapat menyebar
membentuk kipas. Struktur bomb sag sebagai akibat lontaran balistik bom gunung
api dan jatuh menyudut (miring) terhadap permukaan tanah pada waktu terjadi
letusan dapat juga membantu menentukan arah sumber letusan.
IDENTIFIKASI
BERDASARKAN STRUKTUR GEOLOGI
Lereng
kerucut gunung api komposit yang semakin terjal ke arah puncak atau semakin
landai ke arah kaki disebabkan oleh proses penumpukan bahan erupsi gunung api
itu sendiri. Semakin jauh dari sumber erupsi atau kawah tumpukan bahan erupsi
semakin tipis sehingga membentuk lereng yang semakin landai. Konsekuensinya,
bahan piroklastika yang jatuh bebas akan mengendap mengikuti topografi
sebelumnya yang sudah miring. Perlapisan endapan jatuhan piroklastika membentuk
jurus secara umum berpola konsentris, sedangkan kemiringannya semakin landai
dari fasies proksimal ke arah fasies distal. Pengamatan di lereng atas dan
puncak gunung api masa kini, seperti Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung
Bromo di Jawa Timur, memperlihatkan bahwa kemiringan awal dapat mencapai 35o .
Di Gunung Suroloyo, yang merupakan bagian lereng selatan gunung api purba
Menoreh berumur Tersier, kemiringan perlapisan batuan gunung api juga mencapai
35o . Kemiringan awal perlapisan batuan gunung api ini disebut initial dips
atau original dips. Dengan demikian akan terjadi perubahan secara berangsur
kemiringan awal perlapisan batuan gunung api dari miring terjal di fasies
proksimal sampai miring landai di fasies medial, atau bahkan merupakan
perlapisan horizontal di fasies distal. Perlapisan batuan gunung api itu
mempunyai jurus berpola konsentris mengelilingi fasies pusat gunung api.
Pada
saat bergerak ke permukaan, magma mendorong batuan di atas dan di sampingnya
sehingga terjadi pengungkitan (tilting). Pengungkitan terbesar terdapat pada
daerah puncak/kawah dan lereng atas, kemudian nilainya menurun ke arah lereng
bawah dan kaki. Penggembungan lereng gunung api sebagai akibat daya dorong
magma ke atas itu disebut infl asi. Sebaliknya, apabila magma mendingin atau
membeku sehingga volumenya mengecil, atau magma bergerak kembali ke bawah
sehingga lereng gunung api mengkerut, maka deformasi batuan gunung api ini
disebut defl asi. Pada saat terjadi infl asi ukuran lingkaran kawah dipaksa
membesar dan karena tersusun oleh batuan yang getas maka bibir kawah mengalami
pecah-pecah membentuk rekahan berpola radier. Berhubung gerak magma dan erupsi
gunung api terjadi berulang-ulang, maka proses infl asi-defl asi juga terjadi
berkali-kali. Karena efek gaya berat dan keragaman sifat fi sik batuan, rekahan
radier itu dapat berkembang menjadi sesar normal di daerah puncak dan lereng
atas.
Selanjutnya karena kombinasi efek gravitasi
dan topografi lereng, blok-blok sesar turun di daerah puncak dan lereng atas
dapat melengser membentuk sesar miring (turun-geser) pada lereng bawah.
Sementara itu di daerah kaki, efek daya dorong sebagai akibat pelengseran massa
batuan yang berasal dari puncak dan lereng jauh lebih kuat dari gaya gravitasi
sehingga terbentuk sesar geser. Akhirnya di daerah dataran, daya dorong
pelengseran menimbulkan gaya lateral sehingga dapat mengakibatkan terbentuknya
sesar naik dan struktur perlipatan yang berpola konsentris mengelilingi kerucut
gunung api (Bronto drr., 2004a).
IDENTIFIKASI
BERDASARKAN PETROLOGI-GEOKIMIA
Berdasarkan
pandangan geologi sedimenter selama ini (Bronto drr., 2004a) terdapat dua
proses yang berbeda dan pada umur yang berbeda pula. Proses pertama adalah
sedimentasi batuan gunung api di dalam suatu cekungan pengendapan, dimana
sumber asal batuan tidak diketahui atau tidak dipersoalkan. Proses kedua adalah
pembentukan magma di bawah cekungan pengendapan tersebut yang bergerak ke atas,
sehingga menerobos perlapisan batuan sedimen gunung api di atasnya. Apabila hal
ini yang terjadi maka secara petrologi-geokimia batuan sedimen gunung api dapat
berbeda dengan batuan beku yang menerobosnya. Selain itu, batuan sedimen gunung
api berumur lebih tua daripada batuan beku terobosan.
Sebaliknya,
mengacu pada pandangan geologi gunung api, batuan ekstrusi dan batuan intrusi
merupakan satu kesatuan proses yang terjadi pada lokasi dan umur relatif sama.
Oleh sebab itu secara petrologi-geokimia batuan ekstrusi dan intrusi dapat
dipandang bersumber dari magma yang sama dan mempunyai afi nitas yang sama pula
(co-magmatic atau coherent). Penelitian di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat,
Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah (Bronto drr., 2004b) menunjukkan bahwa
batuan beku intrusi gabro mikro mempunyai komposisi mineral dan kimia yang sama
dengan batuan ekstrusi aliran lava basal berstruktur bantal di dekat nya.
Perbedaan hanya pada kehadiran gelas gunung api yang semakin menonjol di dalam
lava basal. Hal itu memberikan gambaran bahwa batuan beku intrusi dan ekstrusi
tersebut mempunyai afi nitas yang sama sebagai satu kesatuan proses magmatisme
dan vulkanisme. Keragaman komposisi sebagai akibat proses diferensiasi,
misalnya terbentuk basal, andesit basal, andesit, dan dasit, dapat saja
terjadi, tetapi semuanya berasal dari magma induk yang sama (Bronto, 2002).
Apabila di dalam dapur magma gunung api terjadi percampuran dua magma yang
berbeda sumber, maka hal inipun masih dapat teridentifi kasi baik di dalam
batuan intrusi maupun batuan ekstrusi.
APLIKASI
DI BIDANG MINERAL
Penelitian
fasies gunung api dapat dimanfaatkan untuk pencarian sumber baru mineralisasi
logam sulfi da berdasarkan konsep pusat erupsi gunung api sebagai strategi
untuk penelitian emas (Volcanic Center Concept for Gold Exploration Strategy,
Bronto & Hartono, 2003; Bronto, 2003b). Interaksi antara gas asam, unsur
logam, dan pancaran panas dari magma dengan air meteorik di dalam konduit
gunung api membentuk fl uida hidrotermal yang pada akhirnya menghasilkan batuan
ubahan dan mineralisasi. Konduit atau istilah lain diatrema, vent dan korok
gunung api terletak di bawah kawah dan di atas dapur magma. Ini berarti bahwa
endapan mineralisasi terdapat di dalam fasies pusat gunung api. Oleh sebab itu
dalam rangka pencarian sumber baru mineralisasi maka sebagai langkah pertama
adalah dengan mencari fasies pusat gunung api purba. Tindakan ini sudah penulis
laksanakan sehingga berhasil menemukan sumber baru mineralisasi di daerah
Cupunagara, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat (Bronto drr., 2004c).
APLIKASI
DI BIDANG LINGKUNGAN DAN KEBENCANAAN
Kawasan
gunung api, yang pada umumnya berupa daerah tinggian, merupakan daerah
tangkapan sekaligus resapan air hujan yang sangat baik. Dalam rangka
pengelolaan sumber daya air tanah perlu diketahui karakter aliran air bawah
permukaan yang dimulai dari fasies sentral dan fasies proksimal menuju ke
fasies medial dan fasies distal. Di sinilah perlunya melakukan penelitian,
identifi kasi dan pemetaan terhadap wilayah yang termasuk di dalam fasies
gunung api tersebut. Wilayah fasies sentral dan proksimal seyogyanya
dilestarikan sebagai daerah tangkapan dan resapan air hujan, sedangkan
pemanfaatan air tanah dilakukan di fasies medial atau bahkan di fasies distal.
PENGEMBANGAN
KONSEP GEOLOGI
Beberapa
penulis terdahulu (Martodjojo, 2003; Soeria-Atmadja drr., 1994) menyatakan
bahwa di Jawa telah terjadi perpindahan busur magma Tersier dan Kuarter sebagai
akibat perubahan lokasi jalur penunjaman kerak bumi. Menurut Martodjojo (2003)
pada umur Kapur - Awal Eosen jalur magma berada di utara Jawa Barat dan daratan
Jawa sekarang, terutama daerah Cekungan Bogor merupakan cekungan busur depan.
Dari Eosen Akhir - Oligosen tidak ada proses magmatisme dan volkanisme di Jawa
Barat. Selanjutnya pada Miosen Awal jalur gunung api berada di selatan Jawa
Barat. Sementara itu SoeriaAtmadja drr. (1994) melaporkan adanya perubahan
busur magma Tersier di sepanjang Pulau Jawa. Busur magma Eosen Akhir-Miosen
Awal terdapat di bagian selatan Pulau Jawa, sedangkan busur magma Miosen
Akhir-Pliosen terletak di sebelah utaranya, berhimpitan dengan busur magma
Kuarter.
Namun
demikian, dari penelitian penulis mengenai fosil gunung api Tersier di Jawa
Barat (Bronto, 2003c) dan umur radiometri (Bronto drr., 2004c; Bronto drr.,
2005) serta Sunardi dan Koesoemadinata (1999) ditemukan adanya batuan gunung
api berumur Paleogen dan Neogen yang terletak di bawah sebaran batuan gunung
api Kuarter. Ini berarti telah terjadi tumpang-tindih kegiatan gunung api di
Jawa, paling tidak sejak Tersier Bawah hingga masa kini. Perpindahan titik
erupsi gunung api di permukaan tidak disebabkan oleh perubahan zone subduksi,
tetapi mungkin karena dalam pergerakannya ke permukaan magma hanya mencari
tempat-tempat lemah untuk dilalui. Terjadinya tumpang-tindih kegiatan gunung
api tersebut melahirkan Konsep Gunung Api Tumpang Tindih (The Concept of
Superimposed volcanisms; Bronto drr., 2005; Bronto drr., 2006).
KESIMPULAN
1. Fasies gunung api terdiri atas fasies
sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal. Pada gunung api
muda, berumur Kuarter - masa kini, pembagian fasiesnya relatif mudah karena
didukung oleh bentuk bentang alam berupa kerucut komposit yang masih sangat
jelas. Fasies sentral terletak di daerah puncak, fasies proksimal di lereng
atas, fasies medial di lereng bawah, dan fasies distal berada di kaki dan
dataran di sekelilingnya.
2. Untuk gunung api
purba, berumur Tersier atau lebih tua, dimana bentuk kerucut kompositnya sudah
tidak jelas, identifi kasi fasies gunung api perlu diteliti berdasarkan pada
pendekatan analisis inderaja-geomorfologi, stratigrafi batuan gunung api,
vulkanologi fi sik, struktur geologi, serta petrologigeokimia.
3. Pembagian fasies
gunung api dapat dimanfaatkan untuk mendukung pencarian sumber baru mineral dan
energi, penataan lingkungan hidup termasuk tata ruang dan penyediaan air
bersih, serta mendukung usaha penanggulangan bencana geologi.
Akmaluddin, D.L.
Setijadji, Watanabe, K., dan Itaya, T., 2005. New interpretation on magmatic
belts evolution during the Neogene-Quaternary periods as revealed from newly
collected K-Ar ages from Central-East Java – Indonesia. Joint Convention
IAGI-HAGI-PERHAPI, Nov. 28-30, 2005, Surabaya.
Bogie, I. dan
Mackenzie, K.M., 1998. The application of a volcanic facies models to an
andesitic stratovolcano hosted geothermal system at Wayang Windu, Java,
Indonesia. Proceedings of 20th NZ Geothermal Workshop, h.265-276.
Bronto, S., 1992.
Volcanoes and their volcanic hazard map preparations. Prosiding EMNHD-2,
Yogyakarta, V.3, h.1-13.
Bronto, S., 1994.
Erupsi gunungapi, bahaya dan penanggulangannya. Simposium Nasional Mitigasi
Bencana Alam, Universitas Gadjah Mada, 16-17 September, Yogyakarta, 20h.
Bronto, S., 1995.
Prediksi geologi dan penyajian informasi potensi bencana gunungapi khususnya
bagi pengembangan wilayah pemukiman dan pariwisata. Seminar Nasional Informasi
Geologi dalam pengembangan tata ruang kota dan wilayah, ITB, Nov., Bandung,
18h.
Bronto, S., 2000.
Volcanic hazard assessment of Krakatau volcano, Sunda Strait Indonesia. Buletin
Geologi Tata Lingkungan, 2, h.20-29.
Bronto, S., 2001.
Penilaian Potensi Bahaya G. Galunggung Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Alami: Jurnal, Air, Lahan, Lingkungan, dan Mitigasi Bencana, 6, BPPT, Jakarta,
h.1-13.
Bronto, S., 2002.
Differention Process in the 1982-83 Galunggung Eruptive Products. Bulletin
Geological Research and Development Centre, no. 22, Juli 2002, h.85-101.
Bronto, S. 2003a.
Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi. Majalah Geologi Indonesia, 18,
h.23-37.
Bronto, S., 2003b.
Penelitian Sumber Daya Energi dan Mineral Berbasis Ilmu Gunung api. Majalah
Mineral & Energi, 1, h.24-26.
Bronto, S., 2003c.
Gunungapi Tersier Jawa Barat: Identifi kasi dan Implikasinya. Majalah Geologi
Indonesia, 18, h.111-135.
Bronto, S., Achnan, K., Kartawa, W., Dirk,
M.H., Utoyo, H., Subandrio, J., dan Lumbanbatu, K., 2004c. Penelitian Awal
Mineralisasi di Daerah Cupunagara, Kabupaten Subang – Jawa Barat. Majalah
Geologi Indonesia, 19, h.12-30.
Bronto, S., Bijaksana,
S., Sanyoto, P., Ngkoimani, L.O., Hartono, G., dan Mulyaningsih, S., 2005. Tinjauan
Volkanisme Paleogene Jawa. Majalah Geologi Indonesia, 20, h.195-204.
Bronto, S., Budiadi,
Ev., dan Hartono, H.G., 2004a. Permasalahan Geologi Gunungapi di Indonesia.
Majalah Geologi Indonesia, 9, h.91-105.
Bronto, S., Budiadi,
Ev., dan Hartono, H.G., 2006. A new perspective of Java Cenozoic volcanic arcs.
Proceedings The Jakarta International Geoscience Conference And Exhibition,
Agustus h.14-16, 2006 (in press).
Bronto, S. dan Hartono
U., 2003. Strategi Penelitian Emas Berdasar Konsep Pusat Gunungapi. Prosiding
Koloqium. ESDM 2002, 13-14 Jan. 2003, P3TekMira, Bandung, h.172-189.
Bronto, S. dan Hartono,
U., 2006. Potensi sumber daya geologi di daerah Cekungan Bandung dan
sekitarnya. Jurnal Geologi Indonesia, 1, h.9-18.
Bronto, S., Hartono,
G., dan Astuti, B., 2004b. Hubungan genesa antara batuan beku intrusi dan
batuan beku ekstrusi di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Klaten Jawa Tengah.
Majalah Geologi Indonesia, 19, h.147- 163
Kamis, 08 Maret 2018
KONSEP DASAR DAN ASPEK-ASPEK GEOMORFOLOGI
KONSEP
DASAR DAN ASPEK-ASPEK GEOMORFOLOGI
MATA
KULIAH
GEOMORFOLOGI
DISUSUN
OLEH :
I
KADEK AGUNG TIRTAYASA
471
417 023
PROGRAM
STUDI TEKNIK GEOLOGI
JURUSAN
ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS
NEGERI GORONTALO
2018
Pengertian
Geomorfologi
Geomorfologi merupakan ilmu tentang roman/bentuk
muka bumi beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya. Kata Geomorfologi
(Geomorphology) berasal bahasa Yunani, yang terdiri dari tiga kata
yaitu:Geos (erath/bumi), morphos (shape/bentuk), logos (knowledge atau
ilmu pengetahuan). Berdasarkan dari kata-kata tersebut, maka pengertian
geomorfologi merupakan pengetahuan tentang bentuk-bentuk permukaan bumi.
Menurut Worcester (1939), geomorfologi merupakan
diskripsi dan tafsiran dari bentuk roman muka bumi. Definisi Worcester ini
lebih luas dari sekedar ilmu pengetahuan tentang bentangalam (the science of
landforms), sebab termasuk pembahasan tentang kejadian bumi secara umum,
seperti pembentukan cekungan lautan (ocean basin) dan paparan benua (continental
platform), serta bentuk-bentuk struktur yang lebih kecil dari yang disebut
diatas, seperti plain, plateau, mountain dan sebagainya.
Lobeck (1939) dalam bukunya “Geomorphology: An
Introduction to the study of landscapes”. Landscapes yang dimaksudkan
disini adalah bentangalam alamiah (natural landscapes). Dalam
mendiskripsi dan menafsirkan bentuk-bentuk bentangalam (landform
atau landscapes) ada tiga faktor yang diperhatikan dalam
mempelajarigeomorfologi, yaitu: struktur, proses dan stadia. Ketiga faktor
tersebut merupakan satu kesatuan dalam mempelajari geomorfologi.
Ahli geolomorfologi mempelajari bentuk bentuk
bentang alam yang dilihatnyadan mencari tahu mengapa suatu bentangalam terjadi,
Disamping itu juga untuk mengetahui sejarah dan perkembangan suatu bentangalam,
disamping memprediksi perubahan perubahan yang mungkin terjadi dimasa mendatang
melalui suatu kombinasi antara observasi lapangan, percobaan secara fisik dan
pemodelan numerik.
Sejarah
Singkat Teori Geomorfolgi
Pengetahuan
tentang geomorfologi, sebagaimana juga ilmu-ilmu lainya dimulai dengan
munculnya pakar-pakar filsafat Yunani dan Romawi. Herodotus (485-425 SM) yang
dikenal sebagai Bapak Geografi di kenal pula mempunyai pikiran tentang
geomorfologi, termasuk perubahan permukaan air laut sebagai salah satu gejala
yang ia perhatikan di Mesir.
Kemudian
banyak pula pakar filsafat lain yang menyinggung tentang geomorfologi seperti
Aristoteles, Strabo,dan Seneca yang kesemuanya akhirnya menerangkan
gejala-gejala alam sebagai suatu kutukan Tuhan yang dikenal sebagai Teori
Malapetaka. Kemudian konsep ini sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Orang
mulai mengenal filsafat Katastrofisma (Cuvier), yang menyatakan bahwa
gejala-gejala geomorfologis terjadi secara mendadak. Hal ini didukung beberapa
kejadian geologis yang terbentuk secara cepat sekali seperti letusan gunung
api, longsor, dan aliran lahar. Dataran-dataran menurut pendapat ini juga
terjadi secara demikian. James Hutton (1726-1797) dikenal sebagai Bapak Geologi
Modern mempunyai pendapat yang bertolak belakang dengan Teori Katasrtrofisma.
Menurutnya, proses morfologis bekerja sepanjang waktu secara perlahan tetapi
mampu membentuk bentuk-bentuk yang ada sekarang ini. Bahkan banyak perubahan
yang terjadi di masa lalu terjadi di masa sekarang dan seterusnya. Ide utama
pendapat ini dituangkannya dalam ungkapan “The present is the key to
the past”(“Masa sekarang adalah kunci membuka tabir masa lalu”).
Pada masa sekarang geomorfologi bukan hanya membahas hal-hal statis saja tetapi
juga merupakan ilmu yang dinamis yang mampu meramalkan kejdian alam sebagai
hasil interpolasi. Selain itu, bentuk roman bumi dapat dinyatakan dengan
besaran matematika seperti yang dikenal dalam Geomorfologi Kuantitatif.
Konsep Dasar Geomorfologi
10 konsep dasar dalam geomorfologi
(Thornbury, 1989) sebagai berikut :
1. “Proses fisik dan
hukum yang terjadi seluruhnya saat ini telah terjadi juga sepanjang waktu
geologi, meskipun intensitasnya tidak sama seperti sekarang”.
2. “Struktur
geologi adalah salah satu pengontrol dominan dalam evolusi pada bentang alam
dan tercermin pada daratan tersebut”.
3. “Banyak relief
permukaan Bumi karena proses geomorfologi berlangsung pada kecepatan yang
berbeda”.
4. “Proses geomorfologi
meninggalkan jejak khusus pada bentang alam, dan setiap proses geomorfologi
menghasilkan karakter yang terkumpul pada pembentukan muka bumi”.
5. “Karena agen
erosional berbeda pada permukaan Bumi, maka akan menghasilkan urutan yang
sesuai dengannya pada bentang alam”.
6. “Kompleksitas
dari evolusi geomorfologi lebih lazim dibandingkan dengan yang
sederhana”.
7. “Sedikit
topografi Bumi lebih tua daripada Tersier dan kebanyakan tidak ada yang lebih
tua daripada Pleistosen”.
8. “Interpretasi yang
tepat pada bentang alam masa kini tidak mungkin tanpa apresiasi dari
pengaruh perubahan geologi dan iklim selama Pleistosen”.
9. “Apresiasi
terhadap perubahan iklim dunia diperlukan untuk memahami secara tepat terhadap
ragam penting dari proses geomorfologi yang berbeda”.
10. “Geomorfologi tidak
hanya fokus terhadap bentang alam masa kini, tetapi juga masa lalu”.
Aspek-Aspek Geomorfologi
Menurut Verstappen (1985) ada empat aspek utama dalam analisa pemetaan
geomorfologi yaitu :
1. Morfologi yaitu
studi bentuk lahan yang mempelajari relief secara umum dan meliputi :
a). Morfografi
adalah susunan dari obyek alami yang ada dipermukaan bumi, bersifat pemerian
atau deskriptifsuatu bentuklahan, antara lain lembah, bukit, perbukitan,
dataran, pegunungan, teras sungai, beting pantai, kipas alluvial, plato, dan
lain –lain.
b). Morfometri
adalah aspek kuantitatif dari suatu aspek bentuk lahan, antara lain kelerengan,
bentuk lereng, panjang lereng, ketinggian, beda tinggi, bentuk lembah, dan pola
pengaliran.
2.
Morfogenesa yaitu asal usul pembentukan dan perkembangan bentuk lahan
serta proses – proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalh struktur
geologi, litologi penyusun dan proses geomorfologi merupakan perhatian yang
penuh. Morfogenesa meliputi :
a).
Morfostruktur pasif yaitu bentuk lahan yang diklasifikasikan berdasarkan tipe
batuan maupun struktur batuan yang ada kaitannya dengan denudasi misalnya mesa,
cuesta, hogback and kubah.
b).
Morfostruktur aktif yaitu berupa tenaga endogen seperti pengangkatan, perlipatan
dan pensesaran. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan erat
dengan hasil gaya endogen yang dinamis termasuk gunung api, tektonik (lipatan
dan sesar), missal : Gunugapi, punggungan antiklin dan gawir sesar.
c). Morfodinamik
yaitu berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga air, es,
gerakan masa dan kegunungapian. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan
erat dengan hasil kerja gaya eksogen ( air, es, angin, dan gerakan tanah),
missal gumuk pasir, undak sungai, pematang pantai, lahan kritis.
3.
Morfokronologi merupakan urutan bentuk lahan atau hubungan aneka ragam
bentuklahan dan preosesnya yang ada dipermukaan bumi sebagai hasil dari proses
geomorfologi. Penekanannya pada evolusi (ubahangus) pertumbuhan bentuk lahan.
4. Morfokonservasi adalah
hubungan antara bentuk lahan dan lingkungan atau berdasarkan parameter bentuk
lahan, seperti hubungan antara bentuk lahan dengan unsur bentuk lahan seperti
batuan, struktur geologi, tanah, air, vegetasi dan penggunaan lahan.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
REVIEW JURNAL SUTIKNO BRONTO FASIES GUNUNG API DAN APLIKASINYA OLEH : I KADEK AGUNG TIRTAYASA 471 417 023 PR...
-
JURNAL GEOLOGI INDONESIA S. Poedjoprajitno, J. Wahyudiono, dan A. Cita Pusat Survei Geologi, Jl. Diponegoro 57, Bandung