Senin, 19 Maret 2018

REVIEW JURNAL SUTIKNO BRONTO TENTANG FASIES GUNUNG API DAN APLIKASINYA


REVIEW JURNAL
SUTIKNO BRONTO

FASIES GUNUNG API DAN APLIKASINYA




Hasil gambar untuk GUNUNG API 



OLEH :
I KADEK AGUNG TIRTAYASA
471 417 023

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO






SARI
Berdasarkan bentuk bentang alam dan asosiasi batuan penyusun, suatu kerucut gunung api komposit dapat dibagi menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal. Secara bentang alam, pembagian tersebut dimulai dari pusat erupsi di bagian puncak, menurun ke arah lereng, kaki, serta dataran di sekelilingnya. Fasies sentral gunung api dicirikan oleh asosiasi batuan beku intrusi dangkal, kubah lava, dan batuan ubahan hidrotermal. Fasies proksimal tersusun oleh perselingan aliran lava dan breksi piroklastika. Fasies medial terutama berupa breksi piroklastika, breksi lahar, dan konglomerat, sedangkan fasies distal lebih banyak disusun oleh batuan epiklastika berukuran butir pasir-lempung. Tuf dapat tersebar mulai dari fasies proksimal sampai distal karena berbutir halus dan ringan. Pembagian fasies gunung api di dalam batuan berumur Tersier atau lebih tua dilakukan dengan pendekatan inderaja - geomorfologi, stratigrafi batuan gunung api, vulkanologi fi sik, struktur geologi, serta petrologi - geokimia. Pembagian fasies gunung api ini dapat dimanfaatkan dalam rangka pencarian sumber baru di bidang mineral dan energi, penataan lingkungan, serta mitigasi bencana geologi.



PENDAHULUAN
Di Indonesia, gunung api dan hasil kegiatannya yang berupa batuan gunung api tersebar melimpah baik di darat maupun di laut. Berdasarkan umur geologi, kegiatan gunung api di Indonesia paling tidak sudah dimulai sejak Zaman Kapur Atas (Martodjojo, 2003) atau sekitar 76 juta tahun yang lalu (Ngkoimani, 2005) hingga masa kini. Namun demikian, sejauh ini para ahli kebumian masih sangat sedikit yang tertarik untuk mempelajari ilmu gunung api atau vulkanologi. Hal itu tentunya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan dasar geologi yang diperolehnya serta atmosfer penelitian yang masih kurang mendukung (Bronto, 2003a; Bronto drr., 2004a). Sebagai akibat lebih lanjut, meskipun wilayah Indonesia mempunyai banyak gunung api dan batuannya tersebar luas, sementara tidak banyak ahli geologi yang mendalaminya, maka dapat dikatakan bahwa kita tidak menjadi pakar di daerahnya sendiri. Padahal diyakini, apabila lingkungan geologi (gunung api) dapat benar-benar difahami, maka hal itu akan menjadi modal dasar untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada ataupun penanggulangan terhadap bencana yang mungkin ditimbulkannya. Makalah ini ditujukan untuk menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap geologi gunung api, khususnya fasies gunung api dan berbagai aplikasinya, baik untuk kepentingan praktis di bidang sumber daya dan mitigasi bencana, maupun dalam pengembangan konsep-konsep geologi di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar penelitian geologi gunung api semakin berkembang pada masa mendatang.


TERMINOLOGI
Schieferdecker (1959) mendefi nisikan gunung api (volcano) adalah “a place at the surface of the earth where magmatic material from the depth erupts or has erupted in the past, usually forming a mountain, more or less conical in shape with a crater in the top” (sebuah tempat di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk suatu gunung, kurang lebih berbentuk kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya). Sementara itu Macdonald (1972) menyatakan bahwa “volcano is both the place or opening from which molten rock or gas, and generally both, issues from the earth’s interior onto the surface, and the hill or mountain built up around the opening by accumulation of the rock material” (gunung api adalah tempat atau bukaan dimana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk bukit atau gunung). Dari dua defi nisi tersebut maka untuk dikatakan sebagai gunung api harus ada magma yang berupa batuan pijar dan atau gas yang keluar ke permukaan bumi melalui bukaan (kawah). Hasil kegiatan berupa bahan padat yang teronggokkan di sekeliling lubang biasanya membentuk bukit atau gunung dan disebut sebagai batuan gunung api.


PEMBAGIAN FASIES GUNUNG API
Secara bentang alam, gunung api yang berbentuk kerucut dapat dibagi menjadi daerah puncak, lereng, kaki, dan dataran di sekelilingnya. Pemahaman ini kemudian dikembangkan oleh Williams dan McBirney (1979) untuk membagi sebuah kerucut gunung api komposit menjadi 3 zone, yakni Central Zone, Proximal Zone, dan Distal Zone. Central Zone disetarakan dengan daerah puncak kerucut gunung api, Proximal Zone sebanding dengan daerah lereng gunung api, dan Distal Zone sama dengan daerah kaki serta dataran di sekeliling gunung api. Namun dalam uraiannya, kedua penulis tersebut sering menyebut zone dengan facies, sehingga menjadi Central Facies, Proximal Facies, dan Distal Facies.
Pembagian fasies gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981) serta Bogie dan Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok, yaitu Central/Vent Facies, Proximal Facies, Medial Facies, dan Distal Facies . Sesuai dengan batasan fasies gunung api, yakni sejumlah ciri litologi (fi sika dan kimia) batuan gunung api pada suatu lokasi tertentu, maka masing-masing fasies gunung api tersebut dapat diidentifi kasi berdasarkan data:
1. inderaja dan geomorfologi,
2. stratigrafi batuan gunung api,
3. vulkanologi fi sik,
4. struktur geologi, serta
5. petrologi-geokimia.


IDENTIFIKASI BERDASARKAN INDERAJA DAN GEOMORFOLOGI
 Pada umur Kuarter hingga masa kini, bentang alam gunung api komposit sangat mudah diidentifi - kasi karena bentuknya berupa kerucut, di puncaknya terdapat kawah dan secara jelas dapat dipisahkan dengan bagian lereng, kaki, dan dataran di sekitarnya. Dari puncak ke arah kaki, sudut lereng semakin melandai untuk kemudian menjadi dataran di sekitar kerucut gunung api tersebut. Untuk pulau gunung api, bagian puncak dan lereng menyembul di atas muka air laut sedangkan kaki dan dataran berada di bawah muka laut. Namun berdasarkan penelitian topografi bawah laut, tidak hanya kaki dan dataran di sekeliling pulau gunung api, tetapi juga kerucut gunung api bawah laut dapat diidentifi kasi. Aliran sungai pada kerucut gunung api di darat dan pulau gunung api mempunyai pola memancar dari daerah puncak ke kaki dan dataran di sekitarnya.


IDENTIFIKASI BERDASARKAN STRATIGRAFI BATUAN GUNUNG API
 Fasies sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api (volcanic necks), sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes). Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah atau kaldera gunung api masa kini, atau pada gunung api purba yang sudah tererosi lanjut. Selain itu, karena daerah bukaan mulai dari conduit atau diatrema sampai dengan kawah merupakan lokasi terbentuknya fl uida hidrotermal, maka hal itu mengakibatkan terbentuknya batuan ubahan atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi di fasies sentral ini sangat lanjut, batuan tua yang mendasari batuan gunung api juga dapat tersingkap.
            Fasies proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling dekat dengan lokasi sumber atau fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunung api komposit sangat didominasi oleh perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan aglomerat. Kelompok batuan ini sangat resistan, sehingga biasanya membentuk timbulan tertinggi pada gunung api purba. Pada fasies medial, karena sudah lebih menjauhi lokasi sumber, aliran lava dan aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar juga sudah mulai berkembang. Sebagai daerah pengendapan terjauh dari sumber, fasies distal didominasi oleh endapan rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar, breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan primer gunung api di fasies ini umumnya berupa tuf. Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya ada kekecualian apabila terjadi letusan besar sehingga menghasilkan endapan aliran piroklastika atau endapan longsoran gunung api yang melampar jauh dari sumbernya. Pada pulau gunung api ataupun gunung api bawah laut, di dalam fasies distal ini batuan gunung api dapat berselang-seling dengan batuan nongunung api, seperti halnya batuan karbonat. Dari pengamatan di lapangan daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Wonogiri, fasies medial dan fasies distal gunung api purba (Tersier) sudah tertutup oleh batuan karbonat.


IDENTIFIKASI BERDASARKAN VULKANOLOGI FISIK
 Secara sedimentologi atau vulkanologi fi sik, mulai dari fasies proksimal sampai fasies distal dapat dirunut perubahan secara bertahap mengenai tekstur dan struktur sedimen. Tekstur batuan klastika gunung api menyangkut bentuk butir, ukuran butir, dan kemas. Karena efek abrasi selama proses transportasi maka dari fasies proksimal ke fasies distal bentuk butir berubah mulai dari sangat meruncing -meruncing sampai membundar - sangat membundar. Ukuran butir juga berubah dari fraksi sangat kasar - kasar, sedang sampai dengan halus - sangat halus. Hubungan antara butir fraksi kasar di daerah fasies proksimal pada umumnya membentuk kemas tertutup, tetapi kemudian berubah menjadi kemas terbuka di fasies medial sampai distal. Struktur sedimen, seperti struktur imbrikasi, silangsiur, antidunes, dan gores-garis sebagai akibat terlanda seruakan piroklastika (pyroclastic surges) juga dapat membantu menentukan arah sumber dan sedimentasi.
 Secara geometri, struktur aliran piroklastika, aliran lahar serta aliran lava dapat juga mendukung penentuan arah sumber erupsi. Dari pengukuran aliran lava berstruktur bantal (Gambar 9) di Watuadeg, diketahui sumber erupsinya terletak lk. 200 m di sebelah barat Kali Opak (Bronto & Mulyaningsih, 2001). Endapan aliran gravitasi tersebut biasanya mengalir mengikuti lembah sungai lama, mulai dari daerah puncak sampai lereng bawah, sementara itu dari kaki hingga dataran endapan tersebut dapat menyebar membentuk kipas. Struktur bomb sag sebagai akibat lontaran balistik bom gunung api dan jatuh menyudut (miring) terhadap permukaan tanah pada waktu terjadi letusan dapat juga membantu menentukan arah sumber letusan.


IDENTIFIKASI BERDASARKAN STRUKTUR GEOLOGI
Lereng kerucut gunung api komposit yang semakin terjal ke arah puncak atau semakin landai ke arah kaki disebabkan oleh proses penumpukan bahan erupsi gunung api itu sendiri. Semakin jauh dari sumber erupsi atau kawah tumpukan bahan erupsi semakin tipis sehingga membentuk lereng yang semakin landai. Konsekuensinya, bahan piroklastika yang jatuh bebas akan mengendap mengikuti topografi sebelumnya yang sudah miring. Perlapisan endapan jatuhan piroklastika membentuk jurus secara umum berpola konsentris, sedangkan kemiringannya semakin landai dari fasies proksimal ke arah fasies distal. Pengamatan di lereng atas dan puncak gunung api masa kini, seperti Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Bromo di Jawa Timur, memperlihatkan bahwa kemiringan awal dapat mencapai 35o . Di Gunung Suroloyo, yang merupakan bagian lereng selatan gunung api purba Menoreh berumur Tersier, kemiringan perlapisan batuan gunung api juga mencapai 35o . Kemiringan awal perlapisan batuan gunung api ini disebut initial dips atau original dips. Dengan demikian akan terjadi perubahan secara berangsur kemiringan awal perlapisan batuan gunung api dari miring terjal di fasies proksimal sampai miring landai di fasies medial, atau bahkan merupakan perlapisan horizontal di fasies distal. Perlapisan batuan gunung api itu mempunyai jurus berpola konsentris mengelilingi fasies pusat gunung api.
Pada saat bergerak ke permukaan, magma mendorong batuan di atas dan di sampingnya sehingga terjadi pengungkitan (tilting). Pengungkitan terbesar terdapat pada daerah puncak/kawah dan lereng atas, kemudian nilainya menurun ke arah lereng bawah dan kaki. Penggembungan lereng gunung api sebagai akibat daya dorong magma ke atas itu disebut infl asi. Sebaliknya, apabila magma mendingin atau membeku sehingga volumenya mengecil, atau magma bergerak kembali ke bawah sehingga lereng gunung api mengkerut, maka deformasi batuan gunung api ini disebut defl asi. Pada saat terjadi infl asi ukuran lingkaran kawah dipaksa membesar dan karena tersusun oleh batuan yang getas maka bibir kawah mengalami pecah-pecah membentuk rekahan berpola radier. Berhubung gerak magma dan erupsi gunung api terjadi berulang-ulang, maka proses infl asi-defl asi juga terjadi berkali-kali. Karena efek gaya berat dan keragaman sifat fi sik batuan, rekahan radier itu dapat berkembang menjadi sesar normal di daerah puncak dan lereng atas.
 Selanjutnya karena kombinasi efek gravitasi dan topografi lereng, blok-blok sesar turun di daerah puncak dan lereng atas dapat melengser membentuk sesar miring (turun-geser) pada lereng bawah. Sementara itu di daerah kaki, efek daya dorong sebagai akibat pelengseran massa batuan yang berasal dari puncak dan lereng jauh lebih kuat dari gaya gravitasi sehingga terbentuk sesar geser. Akhirnya di daerah dataran, daya dorong pelengseran menimbulkan gaya lateral sehingga dapat mengakibatkan terbentuknya sesar naik dan struktur perlipatan yang berpola konsentris mengelilingi kerucut gunung api (Bronto drr., 2004a).


IDENTIFIKASI BERDASARKAN PETROLOGI-GEOKIMIA
Berdasarkan pandangan geologi sedimenter selama ini (Bronto drr., 2004a) terdapat dua proses yang berbeda dan pada umur yang berbeda pula. Proses pertama adalah sedimentasi batuan gunung api di dalam suatu cekungan pengendapan, dimana sumber asal batuan tidak diketahui atau tidak dipersoalkan. Proses kedua adalah pembentukan magma di bawah cekungan pengendapan tersebut yang bergerak ke atas, sehingga menerobos perlapisan batuan sedimen gunung api di atasnya. Apabila hal ini yang terjadi maka secara petrologi-geokimia batuan sedimen gunung api dapat berbeda dengan batuan beku yang menerobosnya. Selain itu, batuan sedimen gunung api berumur lebih tua daripada batuan beku terobosan.
Sebaliknya, mengacu pada pandangan geologi gunung api, batuan ekstrusi dan batuan intrusi merupakan satu kesatuan proses yang terjadi pada lokasi dan umur relatif sama. Oleh sebab itu secara petrologi-geokimia batuan ekstrusi dan intrusi dapat dipandang bersumber dari magma yang sama dan mempunyai afi nitas yang sama pula (co-magmatic atau coherent). Penelitian di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah (Bronto drr., 2004b) menunjukkan bahwa batuan beku intrusi gabro mikro mempunyai komposisi mineral dan kimia yang sama dengan batuan ekstrusi aliran lava basal berstruktur bantal di dekat nya. Perbedaan hanya pada kehadiran gelas gunung api yang semakin menonjol di dalam lava basal. Hal itu memberikan gambaran bahwa batuan beku intrusi dan ekstrusi tersebut mempunyai afi nitas yang sama sebagai satu kesatuan proses magmatisme dan vulkanisme. Keragaman komposisi sebagai akibat proses diferensiasi, misalnya terbentuk basal, andesit basal, andesit, dan dasit, dapat saja terjadi, tetapi semuanya berasal dari magma induk yang sama (Bronto, 2002). Apabila di dalam dapur magma gunung api terjadi percampuran dua magma yang berbeda sumber, maka hal inipun masih dapat teridentifi kasi baik di dalam batuan intrusi maupun batuan ekstrusi.



APLIKASI DI BIDANG MINERAL
Penelitian fasies gunung api dapat dimanfaatkan untuk pencarian sumber baru mineralisasi logam sulfi da berdasarkan konsep pusat erupsi gunung api sebagai strategi untuk penelitian emas (Volcanic Center Concept for Gold Exploration Strategy, Bronto & Hartono, 2003; Bronto, 2003b). Interaksi antara gas asam, unsur logam, dan pancaran panas dari magma dengan air meteorik di dalam konduit gunung api membentuk fl uida hidrotermal yang pada akhirnya menghasilkan batuan ubahan dan mineralisasi. Konduit atau istilah lain diatrema, vent dan korok gunung api terletak di bawah kawah dan di atas dapur magma. Ini berarti bahwa endapan mineralisasi terdapat di dalam fasies pusat gunung api. Oleh sebab itu dalam rangka pencarian sumber baru mineralisasi maka sebagai langkah pertama adalah dengan mencari fasies pusat gunung api purba. Tindakan ini sudah penulis laksanakan sehingga berhasil menemukan sumber baru mineralisasi di daerah Cupunagara, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat (Bronto drr., 2004c).


APLIKASI DI BIDANG LINGKUNGAN DAN KEBENCANAAN
Kawasan gunung api, yang pada umumnya berupa daerah tinggian, merupakan daerah tangkapan sekaligus resapan air hujan yang sangat baik. Dalam rangka pengelolaan sumber daya air tanah perlu diketahui karakter aliran air bawah permukaan yang dimulai dari fasies sentral dan fasies proksimal menuju ke fasies medial dan fasies distal. Di sinilah perlunya melakukan penelitian, identifi kasi dan pemetaan terhadap wilayah yang termasuk di dalam fasies gunung api tersebut. Wilayah fasies sentral dan proksimal seyogyanya dilestarikan sebagai daerah tangkapan dan resapan air hujan, sedangkan pemanfaatan air tanah dilakukan di fasies medial atau bahkan di fasies distal.


PENGEMBANGAN KONSEP GEOLOGI
Beberapa penulis terdahulu (Martodjojo, 2003; Soeria-Atmadja drr., 1994) menyatakan bahwa di Jawa telah terjadi perpindahan busur magma Tersier dan Kuarter sebagai akibat perubahan lokasi jalur penunjaman kerak bumi. Menurut Martodjojo (2003) pada umur Kapur - Awal Eosen jalur magma berada di utara Jawa Barat dan daratan Jawa sekarang, terutama daerah Cekungan Bogor merupakan cekungan busur depan. Dari Eosen Akhir - Oligosen tidak ada proses magmatisme dan volkanisme di Jawa Barat. Selanjutnya pada Miosen Awal jalur gunung api berada di selatan Jawa Barat. Sementara itu SoeriaAtmadja drr. (1994) melaporkan adanya perubahan busur magma Tersier di sepanjang Pulau Jawa. Busur magma Eosen Akhir-Miosen Awal terdapat di bagian selatan Pulau Jawa, sedangkan busur magma Miosen Akhir-Pliosen terletak di sebelah utaranya, berhimpitan dengan busur magma Kuarter.
Namun demikian, dari penelitian penulis mengenai fosil gunung api Tersier di Jawa Barat (Bronto, 2003c) dan umur radiometri (Bronto drr., 2004c; Bronto drr., 2005) serta Sunardi dan Koesoemadinata (1999) ditemukan adanya batuan gunung api berumur Paleogen dan Neogen yang terletak di bawah sebaran batuan gunung api Kuarter. Ini berarti telah terjadi tumpang-tindih kegiatan gunung api di Jawa, paling tidak sejak Tersier Bawah hingga masa kini. Perpindahan titik erupsi gunung api di permukaan tidak disebabkan oleh perubahan zone subduksi, tetapi mungkin karena dalam pergerakannya ke permukaan magma hanya mencari tempat-tempat lemah untuk dilalui. Terjadinya tumpang-tindih kegiatan gunung api tersebut melahirkan Konsep Gunung Api Tumpang Tindih (The Concept of Superimposed volcanisms; Bronto drr., 2005; Bronto drr., 2006).


KESIMPULAN
 1. Fasies gunung api terdiri atas fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal. Pada gunung api muda, berumur Kuarter - masa kini, pembagian fasiesnya relatif mudah karena didukung oleh bentuk bentang alam berupa kerucut komposit yang masih sangat jelas. Fasies sentral terletak di daerah puncak, fasies proksimal di lereng atas, fasies medial di lereng bawah, dan fasies distal berada di kaki dan dataran di sekelilingnya.
2. Untuk gunung api purba, berumur Tersier atau lebih tua, dimana bentuk kerucut kompositnya sudah tidak jelas, identifi kasi fasies gunung api perlu diteliti berdasarkan pada pendekatan analisis inderaja-geomorfologi, stratigrafi batuan gunung api, vulkanologi fi sik, struktur geologi, serta petrologigeokimia.
3. Pembagian fasies gunung api dapat dimanfaatkan untuk mendukung pencarian sumber baru mineral dan energi, penataan lingkungan hidup termasuk tata ruang dan penyediaan air bersih, serta mendukung usaha penanggulangan bencana geologi.


 ACUAN
Akmaluddin, D.L. Setijadji, Watanabe, K., dan Itaya, T., 2005. New interpretation on magmatic belts evolution during the Neogene-Quaternary periods as revealed from newly collected K-Ar ages from Central-East Java – Indonesia. Joint Convention IAGI-HAGI-PERHAPI, Nov. 28-30, 2005, Surabaya.
Bogie, I. dan Mackenzie, K.M., 1998. The application of a volcanic facies models to an andesitic stratovolcano hosted geothermal system at Wayang Windu, Java, Indonesia. Proceedings of 20th NZ Geothermal Workshop, h.265-276.
Bronto, S., 1992. Volcanoes and their volcanic hazard map preparations. Prosiding EMNHD-2, Yogyakarta, V.3, h.1-13.
Bronto, S., 1994. Erupsi gunungapi, bahaya dan penanggulangannya. Simposium Nasional Mitigasi Bencana Alam, Universitas Gadjah Mada, 16-17 September, Yogyakarta, 20h.
Bronto, S., 1995. Prediksi geologi dan penyajian informasi potensi bencana gunungapi khususnya bagi pengembangan wilayah pemukiman dan pariwisata. Seminar Nasional Informasi Geologi dalam pengembangan tata ruang kota dan wilayah, ITB, Nov., Bandung, 18h.
Bronto, S., 2000. Volcanic hazard assessment of Krakatau volcano, Sunda Strait Indonesia. Buletin Geologi Tata Lingkungan, 2, h.20-29.
Bronto, S., 2001. Penilaian Potensi Bahaya G. Galunggung Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Alami: Jurnal, Air, Lahan, Lingkungan, dan Mitigasi Bencana, 6, BPPT, Jakarta, h.1-13.
Bronto, S., 2002. Differention Process in the 1982-83 Galunggung Eruptive Products. Bulletin Geological Research and Development Centre, no. 22, Juli 2002, h.85-101.
Bronto, S. 2003a. Kendala Penerapan Satuan Stratigrafi Gunungapi. Majalah Geologi Indonesia, 18, h.23-37.
Bronto, S., 2003b. Penelitian Sumber Daya Energi dan Mineral Berbasis Ilmu Gunung api. Majalah Mineral & Energi, 1, h.24-26.
Bronto, S., 2003c. Gunungapi Tersier Jawa Barat: Identifi kasi dan Implikasinya. Majalah Geologi Indonesia, 18, h.111-135.
 Bronto, S., Achnan, K., Kartawa, W., Dirk, M.H., Utoyo, H., Subandrio, J., dan Lumbanbatu, K., 2004c. Penelitian Awal Mineralisasi di Daerah Cupunagara, Kabupaten Subang – Jawa Barat. Majalah Geologi Indonesia, 19, h.12-30.
Bronto, S., Bijaksana, S., Sanyoto, P., Ngkoimani, L.O., Hartono, G., dan Mulyaningsih, S., 2005. Tinjauan Volkanisme Paleogene Jawa. Majalah Geologi Indonesia, 20, h.195-204.
Bronto, S., Budiadi, Ev., dan Hartono, H.G., 2004a. Permasalahan Geologi Gunungapi di Indonesia. Majalah Geologi Indonesia, 9, h.91-105.
Bronto, S., Budiadi, Ev., dan Hartono, H.G., 2006. A new perspective of Java Cenozoic volcanic arcs. Proceedings The Jakarta International Geoscience Conference And Exhibition, Agustus h.14-16, 2006 (in press).
Bronto, S. dan Hartono U., 2003. Strategi Penelitian Emas Berdasar Konsep Pusat Gunungapi. Prosiding Koloqium. ESDM 2002, 13-14 Jan. 2003, P3TekMira, Bandung, h.172-189.
Bronto, S. dan Hartono, U., 2006. Potensi sumber daya geologi di daerah Cekungan Bandung dan sekitarnya. Jurnal Geologi Indonesia, 1, h.9-18.
Bronto, S., Hartono, G., dan Astuti, B., 2004b. Hubungan genesa antara batuan beku intrusi dan batuan beku ekstrusi di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Klaten Jawa Tengah. Majalah Geologi Indonesia, 19, h.147- 163

Kamis, 08 Maret 2018

KONSEP DASAR DAN ASPEK-ASPEK GEOMORFOLOGI


KONSEP DASAR DAN ASPEK-ASPEK GEOMORFOLOGI
MATA KULIAH
 GEOMORFOLOGI





DISUSUN OLEH :
I KADEK AGUNG TIRTAYASA
471 417 023

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2018






    Pengertian Geomorfologi

Geomorfologi merupakan ilmu tentang roman/bentuk muka bumi beserta aspek-aspek  yang mempengaruhinya. Kata Geomorfologi (Geomorphology) berasal bahasa Yunani, yang terdiri dari tiga kata yaitu:Geos (erath/bumi), morphos (shape/bentuk), logos (knowledge atau ilmu pengetahuan). Berdasarkan dari kata-kata tersebut, maka pengertian geomorfologi merupakan pengetahuan tentang bentuk-bentuk permukaan bumi.
Menurut Worcester (1939), geomorfologi merupakan diskripsi dan tafsiran dari bentuk roman muka bumi. Definisi Worcester ini lebih luas dari sekedar ilmu pengetahuan tentang bentangalam (the science of landforms), sebab termasuk pembahasan tentang kejadian bumi secara umum, seperti pembentukan cekungan lautan (ocean basin) dan paparan benua (continental platform), serta bentuk-bentuk struktur yang lebih kecil dari yang disebut diatas, seperti plain, plateau, mountain dan sebagainya.
Lobeck (1939) dalam bukunya “Geomorphology: An Introduction to the study of landscapes”. Landscapes yang dimaksudkan disini adalah bentangalam alamiah (natural landscapes). Dalam mendiskripsi dan menafsirkan bentuk-bentuk bentangalam (landform atau landscapes) ada tiga faktor yang diperhatikan dalam mempelajarigeomorfologi, yaitu: struktur, proses dan stadia. Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan dalam mempelajari geomorfologi.
Ahli geolomorfologi mempelajari bentuk bentuk bentang alam yang dilihatnyadan mencari tahu mengapa suatu bentangalam terjadi, Disamping itu juga untuk mengetahui sejarah dan perkembangan suatu bentangalam, disamping memprediksi perubahan perubahan yang mungkin terjadi dimasa mendatang melalui suatu kombinasi antara observasi lapangan, percobaan secara fisik dan pemodelan numerik.



    Sejarah Singkat Teori Geomorfolgi

        Pengetahuan tentang geomorfologi, sebagaimana juga ilmu-ilmu lainya dimulai dengan munculnya pakar-pakar filsafat Yunani dan Romawi. Herodotus (485-425 SM) yang dikenal sebagai Bapak Geografi di kenal pula mempunyai pikiran tentang geomorfologi, termasuk perubahan permukaan air laut sebagai salah satu gejala yang ia perhatikan di Mesir.
            Kemudian banyak pula pakar filsafat lain yang menyinggung tentang geomorfologi seperti Aristoteles, Strabo,dan Seneca yang kesemuanya akhirnya menerangkan gejala-gejala alam sebagai suatu kutukan Tuhan yang dikenal sebagai Teori Malapetaka. Kemudian konsep ini sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Orang mulai mengenal filsafat Katastrofisma (Cuvier), yang menyatakan bahwa gejala-gejala geomorfologis terjadi secara mendadak. Hal ini didukung beberapa kejadian geologis yang terbentuk secara cepat sekali seperti letusan gunung api, longsor, dan aliran lahar. Dataran-dataran menurut pendapat ini juga terjadi secara demikian. James Hutton (1726-1797) dikenal sebagai Bapak Geologi Modern mempunyai pendapat yang bertolak belakang dengan Teori Katasrtrofisma. Menurutnya, proses morfologis bekerja sepanjang waktu secara perlahan tetapi mampu membentuk bentuk-bentuk yang ada sekarang ini. Bahkan banyak perubahan yang terjadi di masa lalu terjadi di masa sekarang dan seterusnya. Ide utama pendapat ini dituangkannya dalam ungkapan “The present is the key to the past”(“Masa sekarang adalah kunci membuka tabir masa lalu”). Pada masa sekarang geomorfologi bukan hanya membahas hal-hal statis saja tetapi juga merupakan ilmu yang dinamis yang mampu meramalkan kejdian alam sebagai hasil interpolasi. Selain itu, bentuk roman bumi dapat dinyatakan dengan besaran matematika seperti yang dikenal dalam Geomorfologi Kuantitatif.



Konsep Dasar Geomorfologi

10 konsep dasar dalam geomorfologi (Thornbury, 1989) sebagai berikut :
1. “Proses fisik dan hukum yang terjadi seluruhnya saat ini telah terjadi juga sepanjang waktu geologi, meskipun intensitasnya tidak sama seperti sekarang”.
2.  “Struktur geologi adalah salah satu pengontrol dominan dalam evolusi pada bentang alam dan tercermin pada daratan tersebut”.
3.  “Banyak relief permukaan Bumi karena proses geomorfologi berlangsung pada kecepatan yang berbeda”.
4. “Proses geomorfologi meninggalkan jejak khusus pada bentang alam, dan setiap proses geomorfologi menghasilkan karakter yang terkumpul pada pembentukan muka bumi”. 
5. “Karena agen erosional berbeda pada permukaan Bumi, maka akan menghasilkan urutan yang sesuai dengannya pada bentang alam”.
6. “Kompleksitas dari evolusi geomorfologi lebih lazim dibandingkan dengan yang sederhana”. 
7. “Sedikit topografi Bumi lebih tua daripada Tersier dan kebanyakan tidak ada yang lebih tua daripada Pleistosen”.
8. “Interpretasi yang tepat pada bentang alam  masa kini tidak mungkin tanpa apresiasi dari pengaruh perubahan geologi dan iklim selama Pleistosen”. 
9. “Apresiasi terhadap perubahan iklim dunia diperlukan untuk memahami secara tepat terhadap ragam penting dari proses geomorfologi yang berbeda”.
10. “Geomorfologi tidak hanya fokus terhadap bentang alam masa kini, tetapi juga masa lalu”.
  
                                     



             Aspek-Aspek Geomorfologi      
                                 
   Menurut Verstappen (1985) ada empat aspek utama dalam analisa pemetaan geomorfologi yaitu :
1. Morfologi yaitu studi bentuk lahan yang mempelajari relief secara umum dan meliputi :
a). Morfografi adalah susunan dari obyek alami yang ada dipermukaan bumi, bersifat pemerian atau deskriptifsuatu bentuklahan, antara lain lembah, bukit, perbukitan, dataran, pegunungan, teras sungai, beting pantai, kipas alluvial, plato, dan lain –lain.
b). Morfometri adalah aspek kuantitatif dari suatu aspek bentuk lahan, antara lain kelerengan, bentuk lereng, panjang lereng, ketinggian, beda tinggi, bentuk lembah, dan pola pengaliran.
2. Morfogenesa yaitu asal usul pembentukan dan perkembangan bentuk lahan serta proses – proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalh struktur geologi, litologi penyusun dan proses geomorfologi merupakan perhatian yang penuh. Morfogenesa meliputi :
a). Morfostruktur pasif yaitu bentuk lahan yang diklasifikasikan berdasarkan tipe batuan maupun struktur batuan yang ada kaitannya dengan denudasi misalnya mesa, cuesta, hogback and kubah.
b). Morfostruktur aktif yaitu berupa tenaga endogen seperti pengangkatan, perlipatan dan pensesaran. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan erat dengan hasil gaya endogen yang dinamis termasuk gunung api, tektonik (lipatan dan sesar), missal : Gunugapi, punggungan antiklin dan gawir sesar.
c).  Morfodinamik yaitu berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga air, es, gerakan masa dan kegunungapian. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan erat dengan hasil kerja gaya eksogen ( air, es, angin, dan gerakan tanah), missal gumuk pasir, undak sungai, pematang pantai, lahan kritis.
3. Morfokronologi merupakan urutan bentuk lahan atau hubungan aneka ragam bentuklahan dan preosesnya yang ada dipermukaan bumi sebagai hasil dari proses geomorfologi. Penekanannya pada evolusi (ubahangus) pertumbuhan bentuk lahan.
4. Morfokonservasi adalah hubungan antara bentuk lahan dan lingkungan atau berdasarkan parameter bentuk lahan, seperti hubungan antara bentuk lahan dengan unsur bentuk lahan seperti batuan, struktur geologi, tanah, air, vegetasi dan penggunaan lahan.